イズリイハの世界へようこそ Untuk mereka yang mengagumi Japanese Culture dan Legends of Japanese Culture :v

Budaya Jepang


Hallo semua :) kali ini admin akan membahas beberapa budaya Jepang yang mungkin banyak belum diketahui masyarakat luas. Dan budaya inilah yang mungkin menyebabkan banyak yang berfikir susah untuk mendapatkan teman orang Jepang. Karena itulah pembahasan kali ini adalah untuk meanmbah wawasan tentang Jepang, sekaligus meluruskan pemikiran susah tersebut. Jadi budaya tersebut adalah :

1. Dou dan Bushidou           


            Banyak sekali ungkapan Bahasa jepang yang menggunakan kanji ­dou dikarenakan hal ini melambangkan kepercayaan yang disebut “jalan” yang ditempuh oleh seorang individu. Konsep dou ini telah mendalam pada cara berfikir orang-orang Jepang, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Konsep dou pun mempengaruhi cara berpikir orang Jepang hingga saat ini. Banyak dari budaya Jepang yang mengadaptasi prinsip dari dou, seperti contoh yang ada hingga saat ini yaitu shodou 書道 (kaligrafi), kendo 剣道 (seni pedang), bushidou武士道 (kode etik samurai), dan lainnya.
            Dou berasal dari paham Taoist China yaitu c’hang, atau zen dalam Bahasa Jepang. Taoist ini sendiri masuk ke Jepang semenjak abad ke-enam, dan memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat Jepang. Contohnya bisa dilihat sekarang, yaitu banyaknya otera お寺yang ada dikarenakan agama Buddha dan Shinto di Jepang agak tercampur selama ratusan tahun. Walaupun paham Taoist tidak disengaja ditanamkan pada masyarakat Jepang, namun terjadi adaptasi dan modifikasi pada zaman kamakura.
            Dan salah satu prinsip dou yang sudah dikenal banyak orang yaitu bushidou, atau bisa disebut “tata cara ksatria”. Bushidou 武士道 adalah sebuah kode etik kepahlawanan golongan Samurai dalam feodalisme Jepang, kata ini berasal dari dua kata dasar “bushi” yang berarti kesatria dan “dou” yang berarti jalan/cara/kode etik, sehingga secara keseluruhan arti kata “bushido” dapat berarti suatu jalan atau metode untuk menjaga perdamaian yang dilakukan secara diplomasi maupun menggunakan senjata. Kode etik ini berasal dari nilai-nilai moral samurai, yang paling sering menekankan beberapa kombinasi kesederhanaan, loyalitas, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati.
            Bushidou lahir dari Neo-Konfusianisme pada masa damai di era kekuasaan Tokugawa dan masih mengikuti teks Konghucu, bushidou juga dipengaruhi oleh Shinto dan Zen Buddhisme, yang memungkinkan terbentuknya samurai yang ganas dan gagah berwatak bijaksana dan penuh ketenangan. Hal ini terinspirasi dari tiga prinsip dasar ajaran budha yaitu rasa tenang, percaya pada takdir ,dan penyerahan diri pada penghinaan yang tidak terelakkan. Bushidou ini memiliki 11 kode, yaitu :
Ø  8 kode utama
o   (gi) Kebenaran
o   (yuu) Keberanian
o     (jin) Kebajikan
o     (rei) Hormat
o   (makoto) Ketulusan
o   名誉 (meiyo) Kehormatan
o    忠義 (chuugi) Loyalitas
o    自制 (jisei) Kendali Diri
Ø  3 kode terkait
o     (kou) Pengabdian Tanpa Pamrih
o   (chi) Kebijaksanaan
o     (tei) Penghargaan pada Persaudaraan
Dalam dunia modern seperti sekarang ini, bushidou masih sering dipraktekkan walaupun tidak secara utuh pelaksanaannya, seperti menjunjung tinggi kepercayaan, kejujuran, disiplin, dan kualitas.

2. Uchi/Soto dan Hone/Tatemae


            Masyarakat Jepang pada umumnya memiliki konsep in-group dan out-group yang disebut denga uchi dan soto . Uchi merupakan sebutan untuk kelompok yang ada di lingkungan sendiri yaitu keluarga, teman dekat, dan kelompok lain dimana individu tersebut berada. Sementara soto merupakan orang-orang yang berada diluar uchi. Tata Bahasa yang digunakan juga berbeda, pada uchi tata bahasa yang sering digunakan ialah ふつ語 (futsugo) yaitu bahasa pergaulan sehari-hari, namun adapun yang menggunakan 敬語 (keigo) yaitu bahasa sopan yang biasa kita kenal dengan berakhiran “masu/desu”. Sementara pada soto tata bahasa yang digunakan ialah 尊敬語 (sonkeigo) yaitu bahasa menghormat, dan bahkan ada juga yang menggunakan 謙譲語(kenjougo) yaitu bahasa merendah.
            Pengelompokan uchi dan soto tidak lepas dari salah satu sistem yang merupakan budaya tradisional Jepang yaitu (ie), arti secara harfiah ialah rumah, namun ie yang dimaksud disini adalah sistem keluarga. Ciri dari ie ini adalah kepemimpinan dipegang oleh laki-laki yang paling tua dimana dia yang mengatur bisnis keluarga dan mengontrol penuh terhadap semua anggota keluarganya. Konsep ie ini bisa digunakan pada perusahaan, semisal atasan kita dikantor dapat menjadi soto no hito ketika kita membicarakannya dengan keluarga dirumah. Namun, ia juga bisa menjadi uchi no hito ketika kita membicarakannya dengan klien/partner kerja dari perusahaan/kantor lain.
            Dari konsep uchi/soto tersebut lah lahir konsep berupa sifat dari seorang individu yang disebut 本音 (honne), dan 建前 (tatemae). Honne disebut juga sebagai sifat asli seseorang yang hanya ia tunjukkan pada orang terdekatnya, sementara tatemae adalah “wajah publik” dari seseorang yang ia tunjukkan di depan umum. Dikarenakan orang Jepang lebih mengutamakan penampilan di pandangan pertama, penggunaan tatemae adalah hal yang biasa untuk menjaga image dirinya terlihat bagus di depan orang lain.
            Beberapa orang menganggap budaya honne-tatemae ini tidak adil dan cenderung berbohong karena menutupi perasaan yang sesungguhnya. Di sisi lain, beberapa orang Jepang berpendapat bahwa honne-tatemae ini sebagai upaya mereka untuk menjaga harmoni dan perdamaian 平和 (heiwa), atau menghindari konfrontasi langsung kepada pihak lain, atau bahkan ada yang beranggapan dengan sedikit berbohong mereka berharap bisa membahagiakan pihak lain.

 3 Tate to Yoko no Kankei (Senpai-Kouhai, Shuudan Isshiki)


            Tate berarti arah dari atas ke bawah atau ketinggiannya yang bermaksud interaksi dalam sistem sosial dalam masyarakat Jepang keatas dan kebawah, sedangkan yoko merupakan interaksi dalam kelompok sosial yang sama atau setara. Dalam kasus ini, bisa diartikan bahwa hubungan sosial masyarakat Jepang dibagi ke dalam hierarki vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal termasuk hubungan orang tua dan anak, sedangkan hubungan horizontal melibatkan teman sekelas. Dari hubungan inilah munculnya tate yang berbentuk senpai dan kouhai.
            先輩(senpai) dan 後輩 (kouhai) adalah istilah dalam bahasa Jepang yang berarti senior dan junior. Di sekolah, adik kelas biasanya memanggil kakak kelasnya senpai, dan seorang alumni akan memanggil alumni yang lulus terlebih dahulu senpai juga. Hal ini kadang terjadi jika mereka berdua berada di tempat yang sama seperti tempat kerja, atau dalam klub yang sama, atau menyekolahkan anaknya di tempat yang sama. Pada beberapa kejadian, orang yang lebih muda bisa disebut senpai oleh orang yang lebih tua jika situasinya di dalam perusahaan orang yang lebih muda masuk terlebih dahulu dibandingkan orang yang lebih tua. Karena itulah sebutan senpai ini lebih identic ke siapa yang masuk ke organisasi tersebut terlebih dahulu, dialah yang berhak menyendang gelar senpai.
            Sebagai contoh, pada klub olahraga di sekolah Jepang seperti tim baseball, para kouhai biasanya diharapkan untuk melakukan berbagai tugas-tugas kasar untuk senpai termasuk mencuci pakaian, dan membersihkan lantai. Kouhai pun biasanya tidak diizinkan untuk bermain olahraga sama sekali, atau memiliki kesempatan hanya terbatas untuk melakukannya sampai mereka menjadi senpai. Tetapi adapun senpai yang bertanggung jawab dengan segala apa yang terjadi pada juniornya, sehingga bila kouhai menunjukan sikap baik maka akan membuat nama senpai nya menjadi baik. Hal ini pun berlaku sebaliknya, yaitu ketika kouhai malah tidak bisa menunjukkan apa yang diajarkan oleh senpai akan membuat nama senpai tersebut menjadi buruk.
            Dan salah satu bentuk pengaplikasian dari yoko adalah 集団意識 (shuudan ishiki), shuudan ishiki yang berarti kesadaran berkelompok berawal dari faktor loyalitas dimana anggota grup menentukan sendiri kode-kode, norma, nilai dan aturan grupnya lalu membentuk solidaritas dan melahirkan konsep kesadaran berkelompok. Kesadaran inipun mencakup implementasi dari tatemae yaitu ketika pendapat seorang individu berbeda dengan pendapat anggota kelompok lainnya, maka ia akan memendamnya untuk menhindari terjadinya konflik. Dan bila kelompok itu adalah suatu kelompok yang besar, akan terjadi juga implementasi uchi dan soto, yaitu sesama individu yang sependapat adalah uchinya sementara yang tidak sependapat adalah soto.
            Karena di Jepang menganggap hidup berkelompok memiliki keuntungan tersendiri dan merupakan hal yang sepantasnya dilakukan, mereka berfikir bahwa individualis merupakan hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Individualis berarti tidak berdaya, seperti beberapa orang akan merasa tidak aman, ataupun tidak bahagia, itulah mengapa mereka lebih senang untuk dapat menjadi anggota suatu atau beberapa kelompok.


4. Amae dan Giri
      
     
            Dikarenakan orang-orang Jepang senang berada dalam sebuah kelompok, ada sebuah konsep tentang saling bergantung yang disebut甘え (amae). Amae ini merupakan bentuk nominal dari kata kerja 甘える(amaeru) yang bisa diartikan sebagai “manja”. Dalam uchi, sistem amae dilakukan tanpa 遠慮 (enryo) atau disebut rasa sungkan, uchi pun bisa berupa lingkungan dimana seorang individu bisa berbuat manja atau egois dengan aman karena dia tahu akan dimanjakan oleh pengasuhnya. Tentunya dalam uchi rasa bersalah jarang muncul karena adanya anggapan bahwa segala kesalahan dalam uchi dapat dimaafkan, sebagai contoh sikap amae yang ada dalam uchi adalah sikap anak dan orang tua dimana saat sang anak berbuat salah, orang tua akan menegur saja dan kemudian dimaafkan.
            Teori tentang amae ini telah diperkenalkan secara luas oleh Takeo Doi pada 1971 melalui bukunya yang berjudul “The Anatomy of Dependence”. Dia adalah seorang profesor dan psikoanalis yang dihormati di Universitas Jepang. Inspirasinya menulis bukun berasal dari culture shock yang telah ia alami pada tahun 1950 ketika ia datang ke AS untuk belajar psikiatri. Dari culture shock ini, Takeo Doi mulai penyelidikan ke dalam psikis orang Jepang. Ia melihat amae hanya sebagai permintaan untuk dicintai.
            Setelah membahas amae, selanjutnya ada satu bentuk kewajiban dalam masyarakat Jepang yang disebut 義理 (giri). Giri adalah konsep kewajiban sosial di Jepang, yang didefinisikan, menjadi memedulikan orang lain yang telah memberi kebaikan hati, dan kebulatan tekad untuk mewujudkan kebahagiaan orang itu meski kadang-kadang dengan mengorbankan diri sendiri. Dalam kamus bahas Jepang sendiri, giri diterjemahkan sebagai jalan yang benar/jalan yang seharusnya diikuti oleh manusia/sesuatu yang dilakukan dengan penuh keengganan untuk memenuhi permintaan maaf terhadap dunia.
Memberi hadiah tergolong salah satu giri, karena di Jepang hal ini merupakan adat-istiadat yaitu penjaga hubungan antar individu. Pengaplikasiannya bisa terlihat saat memberi hadiah musim panas 中元 (chūgen), hadiah akhir tahun 歳暮 (seibo), cokelat yang diberikan pada Hari Valentine 義理チョコ /本命チョコ (giri choco), kartu pos nen-gajou yang dikirim untuk mengucapkan selamat tahun baru pun kemungkinan ditulis karena giri, dan juga pertalian saudara dengan orang yang bukan saudara sedarah.


5. Aimai dan Haragei
           

            Sikap orang Jepang menjaga 平和 (heiwa) dengan tidak mengutarakan langsung bila memikirkan sesuatu merupakan sebuah bagian dari budaya peradaban Jepang yang disebut 曖昧 (aimai). Aimai sendiri diartikan sebagai ambiguitas, dan beberapa orang asing yang tidak mengerti dengan konsep ini tidak jarang dibuat kebingungan karena tidak mengerti apa yang dimaksud orang Jepang dengan perkataannya.
            Mengatakan ya atau menyetujui dalam bahasa Jepang tidak secara langsung diutarakan. Kata はい (hai) memang memiliki arti “iya”, tetapi pada percakapan sehari-hari tidak digunakan secara umum, melainkan diwakili oleh kata うん (un). Bahkan anggukan tanda setuju masih sering digunakan selama percakapan.
            Mengatakan tidak malah akan membuat seseorang jauh lebih bingung, karena orang Jepang sangat ambigu ketika tidak setuju atau menolak penawaran. Ada banyak macam cara untuk mengatakan tidak, tapi salah satu yang paling terkenal adalah ちょっと (chotto) yang dapat berarti “hmm” dalam bahasa Indonesia.
            Adapun istilah yang beriringan aimai dalam mengutarakan pendapat pada masyarakat Jepang yaitu 腹芸 (haragei) yang berarti “seni perut”. Istilah ini merupakan seni dalam memahami perasaan orang lain dalam masalah tertentu, contohnya seseorang yang sedang bermasalah atau tidak ingin memperuncing konflik yang sudah terjadi akan menaik-turunkan emosionalnya untuk menyesuaikan alur komunikasi dalam upaya mempereda konflik. Jelaslah mengapa sering keluar keluhan dari orang-orang asing yang mengadakan perundingan dengan orang-orang Jepang dan ternyata orang Jepang tersebut menggunakan haragei, karena itu diperlukan kesabaran dan ketelatenan dalam memahami orang Jepang terutama memahami “seni perut” itu sebelum berunding dengan orang Jepang. Karena di perut inilah tempat yang paling berharga yang harus dikeluarkan isinya jika seseorang merasa bersalah atau ingin menunjukkan kehormatan dan harga dirinya.  
            Dan dalam kehidupan sehari-hari pun banyak peribahasa, pepatah, atau idiom-idiom Bahasa Jepang yang menggunakan kata (hara). Seperti,
1. 腹が立つ (hara ga tatsu) “perutnya berdiri”, artinya marah.
2. 腹が太い (hara ga futoi) “perutnya besar”, artinya murah hati.
3. 腹を探る (hara wo saguru) “mencari atau mengkira-kira ukuran perut”.
Maksudnya, jika seseorang berusaha untuk mengetahui rencana, keinginan, atau pikiran orang lain tanpa komunikasi verbal secara langsung, maka orang itu telah membaca atau mengukur hara orang lain.
4. 腹を割る (hara wo waru) “membuka perut/membelah perut”.
Maksudnya, jika seseorang berbicara secara terbuka kepada orang lain, berarti ia telah membuka hara/ perutnya sendiri. Ada ungkapan 腹を割って話しましょう (hara wo watte, hanashimashou) yang berarti “mari kita buka perut kita masing-masing dan mari saling terbuka”. Adapun yang mengatakan kalau hara orang jahat berwarna hitam.
hara kiri 「腹切り」, `memotong perut` pada jaman dulu, cara ini kerap dipakai para samurai untuk bunuh diri pada jaman dulu, jika yang bersangkutan menganggap harga dirinya hilang.
5. 腹切り(hara kiri) “memotong perut”
Ungkapan ini sudah jarang didengar pada masyarakat modern, karena ini merupakan sebuah cara yang dilakukan samurai untuk bunuh diri dengan membelah perutnya dengan tantou jika samurai tersebut gagal dalam tugas/kehilangan harga dirinya. Konon katanya samurai yang melakukan ritual ini akan “dibersihkan” dari rasa malu yang dialami sebelumnya karena sudah berani menghabisi nyawa sendiri dalam rangka bertanggung jawab.


6. Ganbari dan Nemawashi
           

Terdapat 2 prinsip yang ditekuni oleh orang Jepang, dan salah satunya sering digunakan dalam keadaan apapun, prinsip tersebut adalah 頑張る (ganbaru) dan 根回す (nemawasu)
Ganbaru berasal dari kata (gan) dan 張る (haru), adalah salah satu kata unik Jepang yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, atau bahasa lainnya karena kata ini merupakan ungkapan dari upaya yang berkelanjutan, sedikit keras kepala, dan mungkin hanya sedikit berlebihan dimana konsep ini tidak ada dalam budaya lain. Dalam film Jepang (dorama atau anime), kata ini sering diartikan sebagai “mari berusaha” ataupun “ayo semangat”. Orang Jepang biasa mengucapkan kata ini minimal sekali sehari, dan pengaplikasiannya pun dilakukan dari kalangan muda sampai yang tua, seperti siswa yang belajar demi ujian, atlet yang berlatih untuk olimpiade, bahkan orang-orang yang sedang bekerja biasanya selalu mengatakan ganbarou atau ganbarimashou sebelum melakukan kegiatan masing-masing.
Sementara nemawashi merupakan sebuah kegiatan diam-diam dalam pekerjaan untuk memuluskan beberapa perubahan atau proyek yang diusulkan. Bentuk kegiatannya ialah dengan berbicara kepada orang-orang yang berkepentingan, mengumpulkan dukungan, umpan balik, dan lain-lain. Kegiatan ini merupakan sebuah elemen penting untuk suatu perubahan besar, yang dilakukan sebelum langkah-langkah formal dijalankan, dan suatu nemawashi yang sukes memungkinkan berbagai perubahan dilaksanakan dengan persetujuan dari semua pihak.

Sebagai contoh, ada seorang yang bekerja di sebuah perusahaan Jepang bernama Yamato. Yamato hendak menjalankan sebuah proyek baru yang berkemungkinan menaikkan karirnya dalam perusahaan tersebut, namun sebelum pekerjaannya dipresentasikan, Yamato harus melakukan pendekatan dulu pada pihak yang terkait dalam proyeknya seperti kepala produksi, berlanjut ke bucchou, dan pada akhirnya pada sacchou. Tindakan yang bisa Yamato lakukan adalah bisa dengan mengajak makan, atau mendatangi kantornyadan bicara langsung  saat senggang dengan bahasa yang persuasive.

Sekian pembahasan mengenai beberapa budaya Jepang kali ini, semoga yang ingin berkenalan dengan orang Jepang bisa lebih paham mengenai budaya bersosialisasi orang Jepang.

Komentar

Posting Komentar